Spektrum-nasional.com || Marshelia Gloria Narida, S.S., M.A., dosen Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Kristen Indonesia (UKI), dengan fokus kajian pada humas digital dan komunikasi publik digital. Dalam beberapa tahun terakhir banyak bagaimana melakukan strategi komunikasi di ruang digital mampu yang mempengaruhi opini publik, mulai dari perilaku konsumtif, hingga persepsi sosial masyarakat. Senin, (16/06/2025).
Pada tahun 2024, dilakukan penelitian berjudul "Analisis Sentimen Pengguna Media Sosial TikTok terhadap Komunikasi Pemasaran Provokatif Menggunakan Software NVivo 14". Penelitian ini berangkat dari fenomena yang ramai terjadi di media sosial pada akhir tahun 2023, tepatnya saat konser Coldplay digelar di Indonesia.
Sebuah unggahan TikTok dari akun @willywinarko_ dengan caption Uang bisa dicari, tapi Coldplay ke Indonesia hanya sekali menjadi viral karena memancing emosi publik. Kalimat tersebut terdengar sederhana, tetapi mengandung pesan provokatif yang mengajak orang melakukan apa pun demi menonton konser idola, termasuk dengan meminjam uang dari pinjaman online (pinjol).
Sebagai peneliti komunikasi digital, tertarik untuk melihat bagaimana publik merespons bentuk komunikasi pemasaran provokatif seperti ini, yaitu strategi yang memanfaatkan unsur kejutan, kontroversi, bahkan pelanggaran norma untuk menarik perhatian dan menciptakan buzz di media sosial.
Dengan menggunakan software NVivo 14, saya menganalisis lebih dari 3.000 komentar warganet pada unggahan tersebut. Hasilnya cukup menarik: sentimen publik nyaris seimbang antara positif dan negatif, yaitu 1.538 komentar positif dan 1.584 komentar negatif.
Sebagian besar komentar positif datang dari pengguna yang merasa konten tersebut lucu, kreatif, dan relevan dengan realitas sosial anak muda yang rela berjuang demi pengalaman langka. Namun, komentar negatif juga banyak muncul dari pengguna yang menilai ajakan itu tidak etis, mendorong perilaku konsumtif, dan berpotensi menjerumuskan ke masalah finansial.
Melalui analisis wordcloud, kata-kata yang paling sering muncul antara lain Coldplay, pinjol, tiket, nonton, dan ginjal. Kata ginjal bahkan sering digunakan secara sarkastik untuk menggambarkan mahalnya tiket konser dan tekanan sosial yang dialami masyarakat digital.
Temuan ini menunjukkan bahwa pemasaran provokatif (provocative marketing) dapat menciptakan engagement yang tinggi, tetapi juga berisiko menimbulkan polarisasi publik.
Strategi komunikasi semacam ini efektif dalam menarik perhatian dan memicu percakapan, namun dapat menimbulkan dilema etika ketika pesan yang disampaikan menyentuh isu sensitif seperti keuangan pribadi.
Dalam konteks ilmu komunikasi, fenomena ini memperlihatkan bahwa publik digital tidak lagi pasif. Mereka mampu menanggapi, menafsirkan, bahkan mengkritik pesan pemasaran yang dianggap berlebihan. Namun di sisi lain, muncul pula normalisasi perilaku konsumtif yang dibungkus dengan humor dan keinginan mengikuti tren (fear of missing out).
Sebagai akademisi dan praktisi komunikasi, saya melihat pentingnya literasi digital dan literasi finansial di tengah gempuran pesan provokatif seperti ini. Masyarakat perlu lebih kritis dalam menyikapi konten yang memanfaatkan emosi untuk mendorong keputusan konsumtif. Karena pada akhirnya, komunikasi di era digital bukan hanya tentang siapa yang paling viral, tetapi siapa yang paling bertanggung jawab dalam mempengaruhi publik.
Penulis : Marshelia Gloria Narida
Membaca Sentimen Publik di TikTok : Dampak Komunikasi Provokatif terhadap Persepsi Netizen
Hari-hari ini, kita diperlihatkan dengan kondisi bangsa yang sedang tidak baik-baik saja
Berkaca pada data seperti dikutip dari Kompas mengungkapkan bahwa Indonesia memiliki 43 taman nasional dengan luas Kawasan mencapai 12,3 Juta Hektas, namun sekitar 30 persen diantaranya dalam kondisi rusak parah akibat perambahan.