Memahami Regulasi Komunikasi Ruang Digital, Masalah dan Solusi
Oleh : Eppy Manu
Mahasiswa PJJ Komunikasi UNSIA
SPEKTRUM-NASIONAL.COM || Anak-anak dan remaja yang jumlahnya mencapai hampir sepertiga penduduk yang berjumlah 237 juta orang, dan dengan pertumbuhan penduduk yang berkisar 1.49 persen setiap tahunnya (BPS, 2010), kesejahteraan mereka merupakan hal yang sangat penting bagi prospek sosial dan ekonomi Indonesia yang saat ini merupakan negara berpenduduk paling padat keempat di dunia. Pada era kemajuan teknologi seperti sekarang ini kehidupan bagian besar anak-anak dan remaja dengan usia 18-22 tahun tidak lepas dari teknologi digital, dan oleh karenanya kelompok tersebut sering disebut sebagai digital natives.
Penelitian ini pada dasarnya termasuk bagian dari studi tentang pemahaman regulasi komunikasi digital di ruang digital pada orang dewasa dengan usia 18-22 tahun hal ini bertujuan untuk menghasilkan beberapa konsep pemahaman yang sangat bagaimana di kelompok usia tertentu menggunakan media sosial dan teknologi digital dan potensi risiko yang didapat.
Anak-anak dan remaja memainkan peran penting dalam eskalasi dramatis drastis penggunaan internet tanpa kabel, telepon selular, smartphone dan jejaring media sosial. Di Indonesia, dimana akses internet dari rumah relatif masih terbatas, konsumen (terutama kaum muda) langsung beralih pada komunikasi mobile, dengan jumlah pengguna telepon seluler bertambah 34 persen setiap tahun (Ditjen Postel 2021). Hampir seperempat jumlah penduduk Indonesia saat ini memiliki smartphone, dengan pembaruan yang cepat.
Di era cepatnya perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan, termasuk di dalamnya perkembangan ilmu-ilmu sosial kemanusiaan serta media dan teknologi informasi komunikasi yang begitu pesat terutama media digital secara relatif mendekatkan jarak antara satu wilayah dengan wilayah lain yang sangat memudahkan penggunanya untuk berinteraksi dengan siapa pun. Berkembangnya teknologi di era digital menghasilkan terobosan-terobosan baru media sosial dan semacamnya.
Secara umum, era digital dapat dikatakan sebagai sebuah zaman atau era yang segala sesuatunya telah di optimalkan melalui teknologi. Bisa juga dikatakan bahwa era digital hadir untuk menggantikan beberapa teknologi masa lalu agar jadi lebih praktis dan modern.Era digital telah membawa berbagai perubahan yang baik sebagai dampak positif yang bisa gunakan sebaik-baiknya. Namun disamping itu, terdapat pula dampak negatif yang banyak merugikan penggunanya.
Era digital terlahir karena kemajuan zaman serta diiringi dengan kecanggihan teknologi, Teknologi yang secara bertahap memberikan perubahan dalam berbagai aspek kehidupan. Kehidupan yang aktivitasnya banyak di sandingkan dengan teknologi internet dan menggeser keberadaan media masa lalu digantikan oleh media yang lebih memudahkan pengguna nya. Kemudahan itu membuat masyarakat berbondong- bondong untuk mempunyai alat yang serba digital agar dapat mengakses segala informasi dimana saja dan kapan saja.
Revolusi industri 4.0 berdampak pada perkembangan hukum, pemerintahan, dan keadilan sosial. Era globalisasi 4.0 menyebabkan terjadinya perubahan hampir di semua sektor kehidupan manusia, terlebih lagi sektor ekonomi dan teknologi. Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik disingkat UU ITE, harus dapat melindungi berbagai kepentingan hukum untuk melindungi kebebasan berbicara, menyampaikan pendapat dengan lisan dan tulisan. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi mengharuskan pemerintah membuat UU ITE tersebut.
UU ITE dilahirkan pada Tahun 2008, kemudian diubah secara terbatas pada Tahun 2016, dengan cakupan undang-undang ini yang sifatnya “sapu jagad” (one for all) yang mengatur semua hal yang terkait pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi, sejumlah materinya belum mampu merespon berbagai tantangan pemanfaatan teknologi internet saat ini. Akibat format dan model pengaturan yang demikian, rumusan pengaturan yang disediakan oleh tiap pasalnya menjadi tidak mendetail dan mendalam, yang berdampak pada kelenturan dalam penafsiran serta implementasinya.
Dalam revisi UU ITE pada Tahun 2016 yang lalu, ditegaskan bahwa untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil. Ada istilah "menjamin penghormatan dan hak kebebasan orang lain", tetapi faktanya, masyarakat seolah diberangus dengan norma-norma di dalam UU ITE tersebut. Dengan kata lain, revisi tersebut tidak mengubah secara esensial persoalan yang ada di dalam UU ITE. Persoalan sesungguhnya ada pada masalah "kriminalisasi" dan "interpretasi norma". Pasal-pasal karet dan bermasalah serta multitafsir dalam UU ITE, telah memakan banyak korban. Namun dengan membuat sebuah pedoman interpretasi terhadap UU ITE bukanlah langkah yang tepat untuk mengatasi permasalahan tersebut. (LBH Pers
Di era digital khususnya sosial media kerap kali memberikan rasa yang tidak nyaman bagi pengunanya karena hilangnya etika berkomunikasi antar sesame pengguna. Selain itu pemahaman masyarakat tentang sebuah peraturan atau UU yang mengarur ruang gerak digital masih sangat minim, banyak orang yang mengetahui adanya UU ITE misalnya namun tidak tau isi UU ITE itu sendiri, hal inilah yang akhirnya membuat beberapa perubahan arah pandang pada sebuah peraturan yang mengikat di ruang digital.
Dari tanggapan saat dilakukannya penelitan yang sederhana didapati bahwa keseringan rentan usia seperti itu sering menggunakan media sosial untuk membaca komentar orang lain.. Ini juga penulis dapat menganalisa bahwa keseringan rentan usia seperti itu saat membaca komentar atau postingan seseorang di media sosial maka akan memicu diri untuk menanggapi, sehingga sering terjadi permasalan yang berakibat pada pelanggaran UU. Selain itu adanya minim pemahaman dengan UU yang berlaku sehingga masyarakat banyak yang berakhir dengan hal-hal yang tidak diinginkan
Jika dilihat dari jawaban narasumber saat diwawancara, peneliti dapat melihat bahwa etika berkomunikasi dalam era media digital khusunya media sosial memang diperlukan, khusunya bagi remaja dan pengguna lainnya yang belum mempunyai rasa tanggung jawab atas perilakunya. Untuk merespon rasa ketidaknyamanan para pengguna komunikasi digital, peneliti mengklasifikasikan etika berkomunikasi kedalam tiga hal, antara lain :
Hal ini dapat di contohkan seperti para mahasiswa yang sedang member pesan kepada dosen menggunakan media sosial Whatsapp. Ada beberapa bahkan banyak mahasiswa yang merasa tidak sabaran atau kurang dihargai jika pesan yang dikirimkan kepada dosennya belum mendapatkan jawaban, khusunya mahasiswa yang membutuhkan informasi jawaban tersebut dalam waktu yang singkat, sehingga para mahasiswa kerap kali mengirimkan pesan beruntun hingga melakukan banyak panggilan yang terhitung seperti meneror. Hal tersebut juga berlaku untuk dosen atau pengguna lain yang merasa terganggu jika terus mendapatkan gangguan pesa atau telepon dari pengguna lain, ditambah lagi jika pengguna lain tersebut melakukannya saat jam istirahat atau dihari libur. Oleh karena itu, diperlukan etika komunikasi dalam konteks waktu. Artinya, kita perlu menyampaikan pesan tersebut diwaktu yang tepat, bukan diwaktu istirahat, hari libur atau tengah malam, dan diperlukan juga kesadaran untuk bersifat sewajarnya apabila pesan tersebut belum mendapatkan jawaban serta kesadaran untuk langsung merespon saat mempunyai waktu luang untuk membalas pesan atau menerima panggilan telepon, agar komunikasi dua arah tetap berjalan dengan baik tanpa terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Dalam konteks usia ini, peran orang tua sangat di butuhkan terutama bagi anak-anak yang belum cukup umur untuk menggunakan media digital khusunya sosial media, mudahnya penggunaan media digital dan mudahnya mengakses informasi apa saja yang diinginkan tidak menutup kemungkinan bagi anak-anak di bawah umur untuk mencari informasi dan situs-situs yang belum selayaknya mereka dapatkan, sebaiknya para orang tua selalu mendampingi tetapi bukan mengekang, jadi tetap membiarkan anak-anak berkembang untuk megeksplor kebutuhannya tetapi tetap dalam pengawasan orang tua.
Berdasarkan hasil penelitian di atas yang data-data nya diperoleh melalui wawancara dapat dilihat bahwa etika komunikasi pada era media digital khusunya media sosial masih sangat di perlukan. Dalam berkomunikasi melalui media sosial, penggunanya memiliki tantangan yang besar karena tanggung jawab mereka dalam kebebasan berekspresi harus pula diiringi oleh tanggung jawab moral yang diatur dalam UU ITE.
Tentang hal tersebut juga perlu untuk dipahami bahwa fenomeman perkembangan dan pengaruh media sosial juga harus beriringan dengan pemahaman masyarakat akan akibat dari penyalahgunaan media sosial ini yang penting dan perlu untuk diketahui oleh seluruh lapisan masyarakat. (**/red/ Penulis Eppy Manu
Rilis Lebih dari 14 Single, Zahra Zee Siap Jadi Ikon Lagu Anak Indonesia
Vanya Wijaya Rilis 6 Lagu Inspiratif Lewat Mini Album "Pejuang Tangguh"
Kenneth Trevi Melampaui Batas Disleksia, Mewujudkan Mimpi Jadi Penyanyi Profesional